Gambar

Gambar

Gambar

Senin, 21 Desember 2015

Esai





Mengolah Seonggok Jagung

.....Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
(Sajak Seonggok Jagung Oleh W. S. Rendra)
Sajak Seonggok Jagung tersebut menunjukkan adanya generasi pendidikan kita yang kurang produktif. Bagaimana lulusan perguruan tinggi bukan mendapat pekerjaan yang layak, namun rasa keterasingan karena bingung dengan apa yang harus dikerjakan? Rasa keterasingan muncul dari seorang pemuda yang jauh-jauh dari desa untuk mencari ilmu. Akan tetapi dia hanya memikirkan tentang ilmu pelajarannya saja seperti IPA, IPS, filsafat, teknologi, bahasa atau yang lainnya yang berdasarkan teori dan hafalan tetapi minim penerapannya dalam lingkungan. Akhirnya ilmu-ilmu tersebut tidak ada gunanya karena tidak dihubungkan dengan kehidupan di masyarakat. Seorang pemuda yang tidak menguasai ilmu, tidak mendapatkan pekerjaan dan hanya menjadi parasit bagi lingkungan hidupnya.
Pendidikan sangat mempengaruhi generasi bangsa. Beberapa generasi tidak sempat bersekolah karena keterbatasan ekonomi. Hidup semakin payah dan susah tanpa bekal diri. Beberapa generasi yang mendapat kesempatan menikmati bangku sekolah, tergoda pergaulan bebas. Terkadang mereka lalai akan tugas utama sebagai generasi penerus bangsa. Tugas kuliah dengan mudah dibelinya. Bahkan skripsi dan tesis sudah menjadi barang dagangan yang dihalalkan oleh pihak tertentu. 
 Begitulah pendidikan kita, semakin hari semakin banyak tantangannya. Semakin tinggi jenjangnya, semakin banyak yang harus diselesaikan. Pendidikan kita memerlukan pendidik yang tangguh dan terampil serta siap mengolah generasi bangsa menjadi sosok-sosok yang siap mengabdikan diri pada masyarakat.
Mahasiswa menjadi tumpuan utama untuk memperbaiki kondisi bangsa (agen perubahan). Bukan hanya menguasai ilmu, tetapi juga penerapannya dalam lingkungan. Mahasiswa harus turut mengawasi roda pemerintahan agar berjalan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tetap dalam ranah demokrasi.  Peran serta mahasiswa dalam kehidupan masyarakat memerlukan kesadaran mahasiswa akan potensi dirinya untuk membangun lingkungannya. Untuk itu mahasiswa perlu memahami perannya sebagai mahasiswa aktif dan aktivis, agen perubahan, pengontrol sosial, dan generasi penerus bangsa.

Mahasiswa Aktif dan Aktivis
            Mahasiswa aktif sering dikaitkan dengan perkuliahan yang baik dan hasil yang maksimal. Sedangkan mahasiswa aktivis akan dikaitkan dengan mahasiswa yang aktif mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan di luar perkuliahan. Diantara keduanya tentu menuai pertanyaan mana yang lebih utama antara mahasiswa aktif atau mahasiswa aktivis?
            Mahasiswa aktif dalam perkuliahan merupakan tugas utama sebagai mahasiswa yang dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Penguasaan terhadap ilmu ini menjadi bagian yang penting karena akan menyangkut kepada penerapan dan hasil pencapaian terhadap ilmu tertentu. Perlu diketahui bahwa ilmu tidak hanya didapat dari bangku kuliah. Kita dapat menggali dari perpustakaan, toko buku, museum, atau melalui berbagai narasumber. Namun apabila kita tidak mempunyai jaringan atau komunitas, sumber lain untuk pembelajaran akan menjadi sulit didapatkan. Begitu pula untuk menghadapi kehidupan bermasyarakat, mahasiswa perlu menguasai mental bermasyarakat yang baik.
            Begitu pula mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan akan mendapat kemampuan dan keterampilan bersosialisasi dengan lingkungannya. Dengan terlibat dalam berbagai kegiatan, secara otomatis mereka akan sering berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Jaringan dan komunitas yang luas tentunya akan memudahkan mereka berinteraksi. Namun tanpa penguasaan ilmu yang baik, akan minim kemampuan bersosialisasi.
            Dengan memperhatikan kelebihan dan kelemahan antara mahasiswa aktif dan mahasiswa aktivis maka keduannya dianggap perlu untuk hidup berdampingan dalam diri mahasiswa. Mahasiswa perlu menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan dengan baik sehingga mudah bersosialisasi dan menerapkan ilmunya bagi lingkungannya. Mahasiswa harus memiliki daya cipta, rasa, dan karsa yang inovatif.  Selain itu, mahasiswa juga dituntut untuk kritis, kreatif, dan konstruktif.

 Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan
            Mahasiswa sebagai agen perubahan secara terus-menerus melakukan pergerakan-pergerakan yang mengarah kepada perubahan keadaan yang lebih baik. Setiap permasalahan yang dihadapi mahasiswa tentu ada penyelesaiannya. Dalam perkembangannya, para mahasiswa  menghadapi berbagai masalah yang berlarut-larut sehingga diwariskan dari generasi ke generasi. Permasalahan tersebut diantaranya adalah menurunnya jiwa nasionalisme, kesenjangan sosial, menurunnya moral dan akhlak, dan semakin sulitnya akses pendidikan. Menurunnya jiwa nasionalisme menyebabkan para generasi muda cenderung untuk menerapkan kebudayaan dari luar negeri daripada melestarikan kebudayaan lokal atau dalam negeri. Misalnya dalam melihat pagelaran antara pagelaran wayang dan pagelaran musik dengan mendatangkan musisi luar negeri. Sebagian besar dari kita akan lebih memilih pagelaran musik dunia agar terlihat mengikuti perkembangan zaman dan tidak dianggap kurang pergaulan. Padahal sudah kita ketahui bahwa wayang merupakan warisan leluhur bangsa kita. Wayang mengandung ajaran dan nasehat yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat kita.  Bila hal ini terus terjadi maka kebudayaan akan semakin hilang dari generasi ke generasi. Lalu dimana peran mahasiswa  sebagai agen perubahan? Apakah dengan merubah kebudayaan? Perubahan itu sendiri sebenarnya dapat dilihat tatanan kehidupan bermasyarakat. Pandangan yang menyatakan bahwa tatanan kehidupan bermasyarakat sangat dipengaruhi oleh hal-hal bersifat materialistik seperti teknologi, misalnya AC akan menciptakan masyarakat feodal, mesin industri akan menciptakan mayarakat kapitalis, internet akan menciptakan menciptakan masyarakat yang informatif, dan ideologi sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Kita sebagai mahasiswa harus bisa mensinkronkan pandangan tersebut menjadi bentuk perubahan yang diharapkan. Kita wujudkan rasa nasionalisme yang diarahkan kepada hal-hal positif, diantaranya dengan meningkatkan prestasi secara akademik maupun non akademik di lingkungan sendiri, nasional maupun internasional.

Mahasiswa Sebagai Pengontrol Sosial
Mahasiswa pada dasarnya adalah generasi yang dipersiapkan tidak hanya untuk mengabdi kepada masyarakat, tetapi juga menjadi bagian dari masyarakat. Sebagai bagian, maka peran dan sumbangsihnya sangat diharapkan bagi perubahan dan  kemajuan masyarakatnya. Peran tersebut dapat berupa ide maupun tindakan yang nyata.
Hingga saat ini, mahasiswa menjadi panutan dalam masyarakat, atas dasar pengetahuannya, tingkat pendidikannya, norma-norma yang berlaku di sekitarnya, dan pola berfikirnya. Sebagai insan muda, mahasiswa dianggap mampu mengembangkan tatanan kehidupan bermasyarakat dari berbagai segi. Namun, kenyataan di lapangan berbeda dari yang diharapkan, mahasiswa cenderung hanya mendalami ilmu teori dan hafalan di bangku perkuliahan dan sedikit sekali yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, walaupun ada sebagian mahasiswa yang mulai melakukan pendekatan dengan masyarakat melalui program-program pengabdian masyarakat lewat program kreativitas mahasiswa ataupun tugas kuliah yang menuntut observasi langsung di masyarakat. Akan tetapi wujud interaksi dan sumbangsih yang sukarela tanpa mengharap imbalan apapun, itu yang masih sulit dilakukan.
Mahasiswa yang acuh terhadap masyarakat akan mengalami kerugian yang besar jika ditinjau dari segi hubungan keharmonisan dan penerapan ilmu. Dari segi keharmonisan, mahasiswa tersebut sudah menutup diri dari lingkungan sekitarnya sehingga muncul sikap apatis dan hilangnya silaturrahim seiring hilangnya kepercayaan masyarakat kepada mahasiswa. Dari segi penerapan ilmu, mahasiswa yang acuh akan menyia-nyiakan ilmu yang didapat di perguruan tinggi, mahasiswa terhenti dalam pergerakan dan menjadi sangat kurang kuantitas sumbangsih ilmunya pada masyarakat. Lalu jika mahasiswa acuh dan tidak peduli dengan lingkungan, maka kepada siapa lagi masyarakat menggantungkankan harapannya?
Mahasiswa Sebagai Generasi Penerus Bangsa
Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa, dalam prosesnya diharapkan  dapat menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Seluruh tatanan organisasi yang ada akan ditandai dengan pergantian kekuasaan dari golongan tua ke golongan muda, oleh karena itu kaderisasi harus dilakukan terus-menerus. Dunia kampus dan kemahasiswaannya merupakan momentum kaderisasi yang sangat tepat untuk dimanfaatkan bagi mereka yang mau berkecimpung di dalamnya.
Sejarah telah membuktikan bahwa di tangan generasi muda perubahan-perubahan besar terjadi. Perubahan terjadi sejak zaman nabi, kolonialisme, hingga reformasi. Pemuda  menjadi garda depan perubah kondisi bangsa.
Lantas sekarang apa yang bisa mahasiswa lakukan untuk memenuhi peran sebagai generasi penerus bangsa? Jawabannya tak lain adalah dengan memperkaya diri kita sebagai mahasiswa dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan baik dari segi keprofesian maupun kemasyarakatan, dan tak lupa untuk mempelajari berbagai kesalahan yang pernah terjadi di generasi-generasi sebelumnya. Dengan harapan kita akan lebih bijak menghadapi keadaan zaman.
Memperbanyak kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dan penguasaan ilmu akan sangat bermanfaat untuk belajar dan mendapat pengalaman hidup bermasyarakat. Sehingga seonggok jagung pun akan tetap dapat diolah menjadi aneka macam dan bentuk sajian, sebagaimana kita mengolah diri untuk menghadapi lingkungan yang setiap saat mengalami perubahan.



Daftar Pustaka
Dwiloka, Bambang dan Rati Riana. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.
Harjito dan Nazla Maharani Umaya. 2009. Jurus Jitu Menulis Ilmiah & Populer. Semarang: IKIP PGRI Semarang PRESS
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Flores, NTT: 2004.
Setianingtyas, Puspa. 2010. Pendidikan moral di Era Globalisasi. Universitas Negeri Yogyakarta dalam tugas esai mata kuliah Sosiologi-Antropologi Pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar